Selasa, 15 Maret 2011

Qur'an dan Sunnah ::: Agama itu Nasehat ♥ RENUNGAN UNTUK KITA SEMUA SEBAGAI WANITA

Saudariku, Aku Menggugah Rasa Malumu…



Doa untuk Muslimah
Ya Allah Yaa Robbi..
Engkau telah anugerahkan limpahan kecantikan kepadanya, maka
Jadikan keindahan hati dan akhlaknya melampaui kecantikan wajahnya …
Engkau telah sentuh hatinya
tuk menutup auratnya, maka
Jadikan penutup auratnya memperindah cahaya aura taqwanya …
Engkau telah indahkan
senyumnya, maka
Jadikan senyumnya selalu terkembang tuk menghiasi rumah tangganya…
Engkau telah tanamkan ilmu
dan kepintaran pada aqal budinya, maka
jadikan aqal nya meninggikan derajatnya …
Engkau telah memberikan
kekerasan hati padanya, maka
jadikan kekerasan hatinya menjadi keteguhan tekad dan ketegaran bagi
mimpinya, namun
sisihkan kelembutan tuk mendidik anaknya dan menjaga keluarganya…
Engkau telah tanamkan iman
dan taqwa ke dalam hatinya, maka
Jadikan keimanan dan ketaqwaan yg istiqomah menjadi jiwa
kecantikannya…
Jadikanlah jiwa raga dan
kalbunya menjadi wanita solehah
…. Jadikan suaminya menjadi suaminya yang
bertanggungg jawab, yang dapat menjadi imam dalam kehidupannya….
Tanamkan jiwa pejuang
sejati dalam rahimnya
….Jadikanlah keluarganya menjadi keluarga Sakinah Mawaddah Warrahmah
… Jadikanlah akhir hidupnya kembali padaMU dengan khusnull khotimah…
Amiien …
Bismillahi minal Awwali wal Akhiri…..
Allaahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad. Allahumma shalli ‘alaihi wa sallim wa adzhib hazana qalbiy fin-dunya wal-aakhirah………….
Bismillahir-Rahmanir-Rahim:
“Ada dua golongan penduduk neraka yang sekarang saya belum melihat keduanya, yaitu: wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok dan memiringkan kepalanya seperti punuk unta, dimana mereka tidak akan masuk surga, bahkan mencium baunya pun tidak bisa” (HR Muslim dan Ahmad)
Mengapa Aku Menulis
Saudariku tercinta, kata-kata yang kutulis berasal dari hati yang dipenuhi kesedihan dan rasa sakit atas kondisi menyedihkan terhadap banyak wanita Muslimah sekarang ini. Kita melihat wanita Muslimah yang berpakaian tetapi telanjang, keluar memamerkan kecantikannya dan menggoda hamba-hamba Allah dengan senjata yang sangat kotor – senjata bujukan dan rayuan yang dia pelajari sebagai cara dan alat untuk menggoda. Engkau menemukan godaan ini di rumah dan di jalan dan dalam perkataan dan dalam gerakan. Godaan dalam pakaian dan mempercantik (diri), dalam berjalan dan duduk dan pada lirikan mata. Ini benar-benar perkara yang serius yang memalukan dan merobek-robek hati dengan kesedihan manakala kita hidup dalam kenyataan dimana begitu banyak wanita Muslimah terlepas dari rasa malu. Agama ini dan Al-Qur’an terlupakan, perbuatan dan akhlak diingkari… dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah!
Saudariku, kata-kata ini dari penaku yang hina dan lemah ditandai oleh jiwa yang terluka dan tidaklah ini melainkan sebuah jeritan dari sebuah peringatan dan perhatian bagimu saudariku. Ini adalah kata-kata yang saya harapkan dapat terdengar oleh telingamu yang melaluinya dapat mencapai pintu hatimu dan menemukan tempat disana, masuk, diterima dan dilaksanakan.
Kata-kata ini keluar dari hati yang berisi cinta, persahabatan dan nasihat yang tulus untukmu. Nasihat dari saudarimu yang begitu perduli terhadap saudarinya yang dilihatnya bergerak menuju jalan kesesatan dimana dia pasti akan terhanyutkan. Dia telah menyimpang dan jatuh ke dalam jebakan dan perangkap yang telah disiapkan baginya oleh Zionist dan dia lalai dan tidak mengetahuinya. Bagaimana mungkin aku tidak memegang tangannya dan menasihatinya, mengarahkannya atau mencoba membuka matanya terhadap rencana dan Persekongkolan disekitarnya?
Saudariku, kata-kataku bukanlah sesuatu yang baru, namun merupakan pengingat bagimu sehingga mungkin Allah akan menjadikannya penyebab bagimu untuk mendapatkan manfaat dengannya dan membuatnya mengalir didalam hatimu dengan kesejukan dan kedamaian. Semoga dengannya akan memberikan pengaruh yang besar terhadapmu, insya Allah. Saya mengunggahmu saudariku tercinta, terhadap rasa keberagamaanmu, kepada fitrah yang Allah menciptakanmu dengannya, dan rasa malumu, dan rasa takut kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa. Tidakkah engkau mendengar panggilan suadarimu yang tulus yang sangat perduli kepadamu?
Ketahuilah saudariku, bahwa engkau dan aku dan setiap wanita Muslimah, berdiri pada sebuah pelabuhan, diantara pelabuhan-pelabuhan Islam. Yakni, keluarga Muslim dan pendidikan anak-anak dengan cara yang dicintai dan diridhai Allah. Pilar dan landasannya adalah ketaatan kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya r dan mencari apa yang diridhai oleh Allah untuk mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai yang kita semua menginginkannya – Surga.
Untuk itulah, saudariku Muslimah, ketika musuh-musuh Islam melihat kedudukan wanita Muslimah dan kekuatan pengaruhnya yang dimiliki diantara mereka dimana dia tinggal sebagai guru dan pembangun generasi berikutnya dan karena dialah asuhannya dapat menjadi kuat atau rusak, mereka mengarahkan perhatian mereka kepada kita. Mereka berfokus pada kita – wanita Muslimah – untuk menghancurkan akhlak kita dan mengambil agama dan rasa malu kita ke arah yang secara alami kita tempatkan dan kita diperintahkan untuk berpegang teguh kepadanya, sampai akhlak anak-anak kita, laki-laki generasi mendatang, pilar-pilar ummat, menjadi rusak. Mereka akan merusak akhlak ini yang mendukung ummat dalam pertumbuhan dan pemahaman dan atas mereka (laki-laki) yang di atas mereka lah terletak kehormataan setelah (bergantung) kepada Allah. Jika pilar ini dibuat menjadi cacat atau dihancurkan dan kekuatan alami ummat ini menjadi lemah, maka akan menjadi apa masa depannya? Sungguh persis seperti inilah yang dikehendaki musuh-musuh Allah.
Tidakkah Engkau Pahami?
Tidakkah engkau tahu bagaimana mereka (musuh-musuh Islam) dapat menyusup dan mempengaruhi kita melalui media-media yang membujuk dan dari luar tampak tidak berdosa namun di dalamnya kotor? Ini dengan cara memberikan racun yang dibungkus madu yang ditampilkan melalui cara-cara iklan, gemerlap dan memikat. Hal ini dilakukan melalui majalah-majalah yang rendah, fashion yang menggiurkan, dan kisah-kisah indah. Ini dilakukan melalui serial televisi, film, nyanyian, dan cara-cara lainnya. Apakah engkau melihat Allah? Tidakkah engkau hendak kembali kepada Rabb-mu dan membuarg rencana-rencana musuhmu kembali pada mereka dan menolak konsep-konsep dan gelar-gelar yang menipu? Maukah engkau mengatakan dengan kekuatan dan kehormatan sebagai seorang Muslimah ‘Saya tidak menerima selain dari perintah Allah dan perintah Nabi-Nya!’?
Saudariku. Apa yang diinginkan musuhmu darimu sungguh sangat berharga dan mahal. Itu bukanlah hal yang sederhana bagimu. Mereka ingin menghancurkan agamamu, karakter akhlakmu, kebaikanmu, rasa malumu yang darinya engkau memperoleh harga diri dan kehormatan. Mereka menginginkanmu menjadi hina, tercela, dan diabaikan oleh masyarakat, sebagaimana kondisi kaum wanita mereka. Mereka mengajak untuk melepaskan hijab dan pada ketelanjangan dan menyingkapkan dirimu dan mereka berkata kepadamu:
Robek-robeklah hijabmu wahai puteri-puteri Islam. Robek dan bakarlah tanpa ragu. Karena sesungguhnya itu (hijab) adalah pelindung yang semu.
Mereka menjalin persekongkolan demi persekongkolan dan memikirkan rencana-rencana dan menempati posisi penyergepan di sekeliling kita. Mereka memulai perbuatan-perbuatan kotor dan beracun seperti yang disebut sebagai ‘gerakan pembebasan’, dan ‘kesetaraan’ dan pendorongnya adalah untuk kehancuran karakter akhlakmu juga diriku, sebagaimana juga akhlak seluruh wanita Muslimah. Ini semua cara-cara dan senjata yang dapat mereka gunakan untuk menghancurkan agama yang haq ini dan penjagaan Islam, akhlak dan rasa malu. Marilah menjadi tangan yang kuat memukul dengan kepalan, hijab, kesopanan, dan akhlak, (ke) wajah semua orang yang melanggar setiap bagiannya (yakni al-haya atau rasa malu-pent.) dan mencoba mendekati dan membahyakannya.
Engkau dan aku dan setiap wanita Muslimah harus mengatakan kepada musuh-musuh Allah apa yang dikatakan Aisyah at-Taimuriyyah:
Dengan tangan kesopanan aku mempertahankan kehormatan hijab
Dan dengan rasa maluku aku telah mengangkat zamanku
Dan dengan anugerah pemikiran yang jernih
dan watak yang kritis adabku disempurnakan
Tidak ada sesuatu yang membahayakanku dari budaya dan pelajaran yang baik
Kecuali akulah yang terbaik diantara yang bijak
Tidak ada yang menghalangi kita untuk bangkit
Kecuali menurunkan penutup kepala dan wajah
Saudariku tercinta, apa yang sungguh mengiris jiwaku dan membuatku tak dapat beristirahat adalah melihat wanita muda Muslimah yang meyakini Allah adalah Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai rasul dan nabinya, berkeliaran di jalan-jalan, tempat-tempat perbelanjaan, dan tempat-tempat umum lainnya dimana orang menemukan kebaikan dan keburukan, keluhuran dan kejahatan, orang-orang yang hatinya bersih dan orang-orang yang hatinya berpenyakit yang mengikuti kelemahan sexualnya mengejar wanita-wanita muda. Wanita-wanita muda ini keluar dengan mempercantik (diri) atau mengenakan hijab dari jenis yang hijab itu sendiri menyerupai perhiasan yang dengan penampilan dan gayanya meluncur laksana panah daya tarik ke dalam hati yang dipenuhi nafsu laki-laki yang demikian. Dia akan tergoda dan hatinya terperangkap oleh wanita itu. Akankah Allah ridha, aku bertanya padamu demi Allah, dengan perbuatan wanita muda ini manakala Dia lah yang berkata kepadanya dan wanita-wanita yang sepertinya:
“…janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS Al-Ahzab [33] : 33).
Atau akankah Allah ridha dengan agama wanita ini, rasa malunya, kepribadiannya sebagaimana dia diajarkan dan dibesarkan dengannya?
Saudariku, tidakkah engkau menyadari bahwa diantara tanda-tanda lemahnya keimanan dalam diri seorang wanita Muslimah dan awal mula dari kekalahannya dan kehilangan kehormatan dan keutamaannya adalah manakala dia mengabaikan dan meninggalkan agamanya dan akhlaknya? Rasa malu merupakan bagian dari kodratnya. Wanita Muslimah selalu menjadi perumpamaan malu, sebuah peribahasa mengatakan:
Malu yang tertinggi adalah perawan di dalam sangkarnya.
Hilangnya malu dalam diri seorang wanita adalah kelemahan imannya dan keluar dari kodratnya. Pernahkah engkau memikirkannya?
Demi Allah, tidak ada kebaikan dalam kehidupan tidak juga di dunia, ketika malu telah menghilang.
Janganlah Menjadi Daun yang Diterbangkan Angin
Saudariku tercinta, waspadalah terhadap karakter wanita yang mengikuti secara membabi buta setiap berita atau tren baru yang berasal dari Zionis. Engkau memiliki martabatmu sendiri dan kepribadian bebas yang membedakanmu dengan yang lainnya. Jika engkau ingin mengikuti sebuah contoh (keteladanan), temukanlah dalam biografi para sahabat wanita yang mulia dan suci. Engkau harus melihat kepada para Da’i yang shalih dan takut kepada Allah karena merekalah yang lebih patut kita nantikan, berkumpul dan diikuti keteladannya. Mereka adalah penerang jalan kepada petunjuk dan dengan kebersamaan mereka adalah yang terbaik di kehdiupan sekarang dan akhirat kelak.
Jangan ikuti, saudariku, para dai yang buruk yang mengajak pada kerusakan yang membual dengan kejahatan… mereka yang merampas pakaian kemuliaan malu. Demi Allah, apa yang membuat hati menangis dan mengiris jiwa dengan duka cita adalah melihat wanita Muslimah… jika dia melihat rekan buruknya mengenakan pakaian ketat, pendek dan transparan dia (pun) mengenakannya dan mengikuti mereka. Jika dia melihat mereka mengenakan celana ketat yang mengundang dan membuka pakaiannya terkadang bahkan memperlihatkan kemaluannya, paha dan pinggulnya, dia membeo kepada mereka! Dia tidak menegakkan hukum syariat dalam pakaiannya juga tidak perduli apa yang dipandang Allah baik baginya. Sebaliknya dia mengikuti apa yang disebut ’kemajuan’ dan tidak memiliki keinginan untuk beralih dari prosesi peradaban dan pembangunan dan melihat setiap penyimpangan sebagai penindasan, kemunduran dan keterbelakangan meskipun sumber dari kemunduran, keterbelakangan, kekalahan dan kepolosan sebenarnya berada dalam konsep, pembawaan dan perbuatannya.
Artikel ini adalah beberapa bab dari eBook “Saudariku, Aku Menggugah Rasa Malumu, Tidakkah Kau Ingin Menjawabnya?” yang diterjemahkan secara bebas dari eBook berbahasa Inggris yang bisa anda dapatkan di Islam House.
Sumber: I Appeal to Your Sense of Shame My Muslim Sister, Will You not Respond? Penulis: Nawal bint Abdullah
Semoga bermanfaat ….
Marilah Setiap detak-detik jantung.., selalu kita isi dengan..
Asma Teragung diseluruh jagad semesta raya ini…
Subhanakallahumma wabihamdika AsyaduAllahilaha illa Anta Astagfiruka wa’atubu Ilaik ..
Copas dari http://www.khayla.net/2009/02/saudariku-aku-menggugah-rasa-malumu.html
Filed under: Wanita

HAWA,DI MANA HILANGNYA MALUMU?

Secara realitinya, zaman dahulu fenomena wanita berpakaian seksi hanya terdapat di kelompok-kelompok tertentu dan di tempat-tempat tertentu. Malahan, hal-hal yang berkaitan ‘menconteng arang ke wajah’ juga sukar ditemui seperti kes khalwat atau zina, membuang anak, merokok, bergambar secara lucah, pelacuran dan sebagainya.
Keterbukaan masyarakat dan pendedahan tentang dunia semasa membuatkan wanita mula membuang sifat malu ke sisi yang kononnya dikatakan sifat malu itu merencatkan pembangunan sosial dan kemajuan dalam dunia wanita.
Suatu hal yang kurang diperjuang oleh golongan feminis terutama untuk wanita yang beragama Islam ialah perjuangan mengembalikan wanita kepada lumrah asalnya iaitu memelihara maruah dan melapik diri dengan sifat malu.
Istilah malu mempunyai makna dan pengertian yang luas dalam Islam. Malu merupakan sebahagian daripada Iman. Abu Hurairah meriwayatkan bahawa Rasullullah s.a.w bersabda yang bermaksud:
“Iman itu ada lebih 60 cabang. Dan sifat malu adalah sebahagian daripada cabang iman.”
Malu atau dalam bahasa Arabnya ‘haya’ berasal daripada perkataan ‘hayat’ yang bermaksud kehidupan. Ia mencakupi sifat malu, memelihara aib diri dan orang lain, kesopanan, harga diri dan bersikap jujur dalam menjaga dan memelihara maruah kerana Allah.
Dalam Islam, sifat malu ditekankan pada setiap umatnya tidak kira sama ada wanita atau lelaki. Namun, wanita Muslimah ditekankan aspek menjaga maruah dan memiliki sifat malu memandangkan wanita merupakan golongan yang lemah, mempunyai 9 nafsu yang pelbagai serta dikatakan paling ramai menghuni neraka.Tentang hal ini, Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud:
“Aku melihat ke dalam syurga, maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (Riwayat Bukhari dan Muslim daripada Ibnu Abbas dan Imran serta selain kedua-duanya)
Imam Qurthubi rahimahullah menjelaskan hadis di atas dengan pernyataannya:
“Penyebab sedikitnya kaum wanita yang masuk syurga adalah hawa nafsu yang mendominasi pada diri mereka, kecenderungan mereka kepada kesenangan-kesenangan dunia, dan berpaling dari akhirat kerana kurangnya akal mereka dan mudahnya mereka untuk tertipu dengan kesenangan-kesenangan dunia yang menyebabkan mereka lemah untuk beramal…”
Selain iman yang lemah, membuang sifat malu untuk mengejar apa yang diimpikan dalam hidup juga merupakan satu kesilapan besar yang menjerumuskan wanita ke kancah kehinaan. Walau bagaimanapun, sifat malu terbahagi kepada dua iaitu malu yang bersifat kebaikan dan malu yang bersifat kejahatan.
Wanita khasnya dituntut mempunyai sifat malu terutama hal yang berkaitan maksiat dan larangan-larangan Allah. Apabila menghampiri hal-hal sebegini, mereka akan berasa malu, dan seterusnya memikirkan balasan Allah di dunia dan akhirat.
Manakala malu yang bersifat kejahatan pula ialah malu melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah. Dalam hal ini mereka bukan sahaja melakukan apa yang dilarang oleh Allah, malahan melanggar sistem sosial masyarakat sehingga melupakan balasan di dunia dan akhirat.
Wanita Muslimah atau wanita yang bertamadun tidak akan menggadaikan maruah dan membuang sifat malu semata-mata mahu kelihatan moden.
Mementingkan pandangan Allah s.w.t lebih bermakna daripada mementingkan pandangan masyarakat. Tidak kisahlah jika anda dilabel sebagai tidak moden, kolot dan sebagainya. Apa yang lebih penting ialah anda tahu menjaga maruah serta tahu kesan-kesan buruk yang akan berlaku kepada iman, maruah diri, keluarga dan masyarakat jika anda bertindak tidak tahu malu.
Memelihara malu diri sendiri dan menjaga aib (malu) orang lain sangat penting dalam pembinaan bangsa yang bermaruah. Malu dikatakan perisai dan perhiasan kepada wanita dan juga lelaki yang menghalang mereka dari terjerumus kelembah kehinaan serta dosa zahir dan batin.
Rasulullah juga pernah mengatakan bahawa malu adalah karektor bagi agama Islam serta mempunyai sifat malu yang sebenar-benarnya tidak akan menyebabkan perkara yang tidak baik.
Memandangkan dunia semakin berkembang dengan segala macam teknologi dan perubahan dari semua aspek, sudah sewajarnya setiap wanita menilai kembali sifat semulajadi atau lahiriah seorang wanita yang suatu waktu dahulu cukup kebal dengan sifat pemalu.
Sifat pemalu tidak akan menyekat pergerakan wanita untuk mengikuti perkembangan dunia semasa. Malahan wanita yang pemalu lebih berjaya bukan sahaja di dunia malah di akhirat juga kelak. Insya-Allah.
Sudah tiba masanya, kumpulan atau golongan yang memperjuangkan hak wanita dan dunia wanita mengubah persepsi mereka terhadap peranan dan diri wanita dalam dunia masa kini. Mengejar kejayaan, kemodenan, kesamarataan taraf, menghindar penindasan dan sebagainya harus diperjuang, tanpa mengikis sifat wanita yang hakiki iaitu pemalu.
Malu adalah lambang iman yang akan membawa seseorang ke syurga. Rasulullah s.a.w pernah bersabda yang bermaksud:
“Malu dan amanah adalah perkara yang mula-mula sekali hilang dari dunia ini, sebab itu mintalah dengan Allah untuk kedua-duanya” (Riwayat Bukhari)
Pemalu bukan sahaja memperlihatkan kemanisan akhlak dan ketinggian akidah seseorang wanita. Malah, memelihara diri wanita itu sendiri daripada kehinaan dan kemusnahan peribadi secara beransur-ansur. Percayalah bahawa sifat malu tidak akan menyisihkan anda dari arus globalisasi. Malah, anda akan lebih berkeyakinan serta jelas dengan tujuan anda untuk melakukan sesuatu perkara.
Filed under: Uncategorized

Peliharalah Rasa Malumu!

Berbeda dengan malu dalam pengertian umum, Al-haya’,  adalah malu yang didorong oleh perasaan terhina atau melanggar prinsip syariat
Hidayatullah.com–Seorang teman, sedang memamerkan foto bersama sang kekasihnya di laman Facebook dan jejaring sosial. Foto-fotonya yang nampak mesra ditampilkan begitu sangat terbuka dan bisa dilihat atau diakses pihak lain. “Aku jika punya pacar selalu aku publish, “ujarnya suatu ketika ditanya alasannya. Padahal, mereka belum terikat sebagai pasangan suamu istri yang sah.
Suatu kali seorang pejabat tinggi di Jawa Timur pernah berangkat haji dengan rombongan besar. Bersama istri, anak, keluarga dan kerabatnya mengunjungi tanah suci, ia tanpa malu menggunakan fasilitas negara yang diambil dari pajak rakyatnya.
Di TV masyarakat sering menyaksikan, di ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong. Sebagian sering menguap karena ngantuk, bahkan ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal digaji besar dari uang rakyatnya, namun ia tak merasa malu disaksikan jutaan orang.
Masih di TV, seorang terdakwah koruptor kelas kakap, yang telah menilap dan merugikan uang negara masih bisa tersenyum ketika para wartawan TV menyorot wajahnya. Di akhir zaman seperti ini,  istilah malu mungkin hanya slogan. Orang yang masih memiliki rasa malu mungkin sangat langka. Yang ada justru sebaliknya. Yang dapat kita jumpai di hampir semua lapisan sosial, baik, individu, keluarga, masyarakat atau institusi sosial atau dalam hidup bernegara.
Tiap hari, kita disuguhkan dengan cerita, pemandangan dan laporan yang seolah telah menguras habis naluri dan perasaan kita.
Karyawan yang sudah memiliki pasangan suami-istri tugas berdua dengan  teman sekantor, kakek melecehkan cucunya, ayah menghamili anaknya, kakak bersingkuh dengan adik iparnya, Bupati atau mantan ketua organisasi besar melakukan korupsi, anak-anak para pejabat mabuk harta ketika orantuanya sedang berkuasa, para penegak hukumnya mudah disuap, semua telah ada nyata di depan mata kita.
Boleh dikata, kejahatan moral berjalan secara sistematis dari kamar-kamar keluarga hingga ke ruang-ruang Istana.
***
Rasa malu (al haya’) dalam Islam adalah salah satu cabang iman.  Dalam sebuah hadits Rasulullah Muhammad mengatakan, “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘La ilaha illallah’ (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman.” [HR. Bukhari, Muslim]
Dari sa’id bin Zaid ra bahwa seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah berilah aku wasiat. Rasulullah saw bersabda: “Aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada seorang lelaki shaleh dari kaummu”. [Al-Zuhd, Imam Ahmad hal: 46 dan Al-Syu’ab karangan Al-Baihaqi : 6/145-146 no: 7738]
Al-haya’, sangat berbeda dengan pengertian malu dalam kamus umum atau kamus psikologi yang mengambil istilah dari Barat, di mana mengartikan malu sebagai sesuatu rasa bersalah.
Al-haya’ adalah malu yang didorong oleh rasa hormat dan segan terhadap sesuatu yang dipandang dapat membuat dirinya terhina atau melanggar prinsip syariat. Jika seseorang hendak melakukan sesuatu perbuatan tetapi kemudian mengurungkan niatnya karena terdapat akibat jelek yang bisa menurunkan harkat dirinya dimata orang yang dihormati, maka dia telah memiliki sifat Al-haya’.
Dalam Islam, rasa malu  termasuk dalam katagori akhlaq mahmudah (akhlaq terpuji). Karena itulah Nabi mengatakan, malu adalah sebagian dari iman.  Rasulullah mengatakan, “Seseorang tidak akan mencuri bila ia beriman, tidak akan berzina bila ia beriman.” Bahkan Rasulullah juga menjelaskan qalilul haya’ (sedikit dan kurangnya malu), menyebabkan nilai ibadah menjadi hilang dan hapus.
Dalam kajian akidah-akhlaq malu itu dibagi tiga. Pertama, malu terhadap diri sendiri. Merasa malu bila tidak menjalankan perintah dan tidak menjauhi larangan Allah swt. Kedua, malu terhadap masyarakat. Merasa malu bila melakukan kemaksiatan atau kemungkaran. Ketiga, malu kepada Allah. Di manapun kita berada, kita malu tidak menaati-Nya. Sebab di manapun semua kita yakin Allah pasti melihat dan mengawasi hamba-Nya.
Dr. Amin Abdullah Asy-Syaqawy dalam kitabnya “Al-Haya’ ” (Rasa Malu) mengatakan, di antara sifat terpuji yang diseru oleh syara’ adalah sifat malu.
Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata: “Dan akhlak malu ini termasuk akhlak yang paling baik mulia, agung., lebih banyak manfaatanya, sifat ini merupakan sifat khsusus bagi kemanusiaan, maka orang yang tidak memiliki rasa malu berarti tidak ada bagi dirinya sifat kemanusiaan kecuali dagingnya, darahnya dan bentuk fisiknya. Selain itu, dia tidak memiliki kebaikan apapun, dan kalaulah bukan karena sifat ini, yaitu rasa malu maka tamu tidak akan dihormati, janji tidak ditepati, amanah tidak ditunaikan dan kebutuhan seseorang tidak akan pernah terpenuhi, serta seseorang tidak akan berusaha mencari sifat-sifat yang baik untuk dikerjakan dan sifat-sifat yang buruk untuk dijauhi, aurat tidak akan ditutup dan seseorang tidak akan tercegah dari perbuatan mesum, sebab faktor utama yang mendorong seseorang melakukan hal ini baik faktor agama, yaitu dengan mengharapkan balasan dan akibat yang baik (dari sifat yang mulia ini) atau faktor duniawi yaitu perasaan malu orang yang melakukan keburukan terhadap sesama makhluk. Sunnguh telah jelas bahwa kalaulah bukan karena rasa malu terhadap Allah, Al-Khalik dan sesama makhluk maka pelakunya maka kebaikan tidak akan pernah tersentuh dan keburukan tidak akan pernah dijauhi…..dan setererusnya.”  [Dikutip dari kitab Al-Haya’ Dr. Amin Abdullah Asy-Syaqawy, dari Darus sa’adah, Ibnul Qoyyim halaman: 277 di kitab: Nudhratun Na’im: 5/1802]
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: “Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang menampakkan kemaksiatannya, termasuk menampakkan kemaksiatan adalah bahwa seseorang berbuat mesum pada waktu malamnya lalu pada waktu paginya padahal Allah telah menutupi kemaksiatannya, namun dia mengatakan: Wahai fulan tadi malam aku telah berbuat ini dan ini, kemaksiatannya telah ditutupi oleh Allah lalu pada waktu pagi dia menyingkap apa yang telah disembunyikan oleh Allah”. [Shahih Bukhari]
Mereka ini mendapatkan bagian dari apa yang disebutkan oleh firman Allah swt:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” [QS. Al-Nur: 19]
Jenis Malu
Dalam kitab “Madarijus Saalikin”, Ibnul Qayyim membagi malu menjadi 10 kriteria malu. Pertama, malu karena berbuat salah, sebagaimana malunya Nabi Adam As yang melarikan diri dari surga, seraya ditegur oleh Allah SWT: “Mengapa engkau lari dari-Ku wahai Adam?” Adam kemudian menjawab: “Tidak wahai Rabbi, hanya aku malu terhadap Engkau.”
Kedua, malu karena keterbatasan diri seperti malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih siang dan malam. Pada hari kiamat mereka berkata: “Maha suci Engkau, kami tidak menyembah kepeda-Mu sebenar-benarnya.”
Ketiga, malu karena ma’rifah yang mendalam kepada Allah SWT karena keagungan Allah SWT atas seorang hamba seperti malunya Nabi Nuh As ditegor Allah karena meminta keselamatan anaknya yang kafir.
Keempat, malu karena kehalusan budi, seperti malu Rasulullah Saw kepada para Sahabat dalam walimahnya dengan Zainab.
Kelima, malu karena kesopanan, seperti Ali bin Thalib malu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum madzi.
Keenam, malu karena merasa hina kepada Allah SWT, seperti malunya para Rasul ulul azhmi untuk meminta syafaat kubra di padang mahsyar karena kebijakan / kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Ketujuh, malu karena cinta kepada Allah SWT, bahkan ketika sendirian tidak ada seorangpun, sehingga ia selalu melakukan muraqabah, seperti kisah Nabi Musa As untuk tidak mandi dalam keadaan telanjang.
Kedelapan, malu karena ‘ubudiyah yang bercampur antara cinta, harap, dan takut. Seorang hamba akan malu karena yang disembahnya terlalu Agung padahal dirinya terlalu hina, sehingga mendorongnya untuk selalu ibadah.
Kesembilan, malu karena kemulian seorang hamba yang wara’ dan muru’ah sehingga biarpun ia telah memberi dan berkorban dengan mengeluarkan sesuatu yang baik, toh ia masih marasa malu kerena kemuliaan dirinya. Seperti malunya Umar bin Khattab melihat kedermawanan Abu Bakar.
Kesepuluh, malu terhadap diri sendiri karena keagungan jiwa seorang hamba atas keridhaan perbuatan baik dirinya dan merasa puas terhadap kekurangan orang lain. Seolah-olah mereka mempunyai dua jiwa, yang satu malu dengan yang lainnya.
Tip Menjaga Sifat Malu
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry r.a dia berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya ungkapan yang telah  dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu  perbuatlah apa yang engkau suka.” [HR Bukhori]
Hadits di atas mengisyaratkan bila rasa malu telah hilang dalam  hati seseorang, maka alamat dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun kehormatan dirinya.
Di bawah ini beberapa cara agar sifat malu masih tertanam dalam diri kita.
1.  Berdoa tiap saat agar Allah terus memberi hidayah dan taufiq nya. Serta berharap agar terus-menerus dalam pengawasan dan lindungan Allah
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung, bila berkehendak menjatuhkan seseorang maka Allah cabut dari orang itu rasa malunya. Ia hanya akan menerima kesusahan (dari orang banyak yang marah kepadanya). Melalui ungkapan kemarahan itu, hilang pulalah kepercayaan orang kepadanya.
Mudah-mudahan diri dan keluarga kita terhindar dari tercerabutnya rahmat Allah, sehingga Allah tidak mencabut rasa malu yang kita miliki.
2.  Munculkanlah setiap saat perasaan malu jika ingin melakukan hal-hal yang dilarang Allah
Rasa malu pada sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.
Hendaklah tertanam setiap saat perasaan malu kepada Allah Ta’ala, dan kalau pun sudah tidak malu kepada Allah Ta’ala, setidaknya malul kepada malaikat yang tiap saat mencatat amal pebuatan kita. Jika tidak malu kepada malaikat, malulah kepada manusia, atasn kita, teman-teman kita. Jika tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di rumah, kalau pun tidak malu kepada keluarga, maka malulah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan, minimal meragukan.  Namun malu yang benar, pamrihnya hanya kepada Allah, bukan pada yang lain.
3.  Pupuklah iman dalam hati dan diri kita. Sebab antara iman dan rasa malu itu saling bergandengan
Nabi bersabda, الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر
“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” [HR. Hakim]
4. Ingatlah kematian jikan akan melakukan maksiat
Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Mengingat kematian, adalah cara tepat mencegah perbuatan maksiat.
“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu. Barangsiapa malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah malu kepada Allah Azzawajalla dengan sebenar-benarnya malu.” [HR. at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim].
Semoga, kita termasuk diantara segelintir manusia yang masih memilih rasa malu. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
Filed under: Obat Hati, Renungan

Apakah Makna Zuhud Sebenarnya ?


Ustadz, saya sering mendengar istilah zuhud. Mohon dijelaskan apa sebenarnya arti zuhud itu dan bagaimana bentuknya dalam kehidupan nyata? Terimakasih atas penjelasannya
Secara harfiah, zuhud berarti tidak berminat kepada sesuatu yang bersifat keduniawian, alias meninggalkan gemerlap kehidupan yang bersifat material.  Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh negatif kehidupan dunia. Orang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang abadi daripada mengejar kehidupan dunia yang fana.
Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat berikut, Katakanlah: Kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.(Q.S. An-Nisa 4 : 77).
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S. Al-Anaam 6: 32).
Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit (Q.S. At-Taubah 9 : 38).
Ayat-ayat di atas memberi petunjuk bahwa kehidupan dunia yang sekejap ini sungguh tidak sebanding bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan dunia. Lebih lanjut Allah berfirman, Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (QS. Al-A’la 87 : 17).
Orang zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total, mereka menjadikan dunia hanya sebatas genggaman tangannya dan tidak sampai memperbudak hatinya. Inilah hakikat zuhud.
Perhatikan ayat berikut, “Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al Qashash 28 :77)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar kita menggunakan segala kenikmatan yang diberikan-Nya untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat. Namun Allah swt. menegaskan bahwa kehidupan dunia juga tidak boleh kita lupakan. Merujuk pada ayat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa orang zuhud sangat mengutamakan kehidupan akhirat, namun mereka tidak meninggalkan kehidupan dunia, sehingga terjadi keseimbangan antara kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wallahu A’lam
percikaniman.org/tanya_jawab_aam.php?cID=210
Filed under: Obat Hati ,

Qadla dan Qadar Allah


Allah berfirman “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 145).
Juga firman-Nya dalam surat Al-A’raaf:
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal); maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (TQS. Al-A’raaf [7]: 34).
Firman-Nya yang lain dalam surat Al-Hadid:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (TQS. Al-Hadid [57]: 22).
Juga firman-Nya dalam surat An-Nisaa’:
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang- orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (TQS. An-Nisaa’ [4]: 78).
Ayat-ayat di atas sering digunakan para ahli kalam untuk dijadikan dalil seolah manusia ”dipaksa” melakukan perbuatannya, atau seolah Allah menciptakan manusia dengan apapun yang diperbuatnya. Masalah qada dan qadar telah menjadi perdebatan dalam madzab Islam terdahulu, dimana ahlu sunnah berpendapat, ketika hendak berbuat sesuatu, Allah menciptakan perbuatan itu, dan manusia dihisab atas kehendaknya (kasb ikhtiari). Sedangkan Muktazilah berpendapat, manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya dan dihisab atas perbuatannya. Kemudian Jabariyah berpendapat Allah menciptakan hamba beserta perbuatannya, yang bebarti manusia dipaksa berbuat dan tidak bebas memilih, seperti bulu yang diterbangkan angin.
Berkaitan dengan perbuatan manusia, maka kita bisa melihat bahwasanya ada dua lingkaran yang melingkupinya, yaitu lingkaran yang dikuasai manusia dan lingkaran yang menguasai manusia. Dalam lingkaran yang dikuasai manusia, maka dalam hal ini manusia ikut andil dalam prosesnya, dan dia dimintai pertanggungjawaban atas prosesnya, bukan hasilnya. Jadi ketika dia berdagang, maka aktivitas/proses berdagangnya apakah sesuai syariah atau tidak (seperti menipu, barang haram, hasil mencuri, dsb) itu yang akan dimintai pertanggungjawaban. Sedangkan hasilnya apakah untung atau rugi itu mutlak ada di tangan Allah, dan manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas hasilnya.
Sedangkan pada lingkaran yang menguasai manusia, maka dalam hal ini manusia tidak berperan dalam menetapkannya, dan manusia tidak dimintai pertanggungjawaban di dalamnya. Contohnya adalah terlahir berkulit putih, terlahir dari keluarga miskin, cacat, pendek, perempuan/laki-laki, dsb. Betapapun besar manfa’at atau kerugiannya, disukai atau dibenci oleh manusia, meski kejadian tersebut mengandung kebaikan dan keburukan menurut tafsiran manusia —sekalipun hanya Allah yang mengetahui hakekat baik dan buruknya kejadian itu. Ini karena manusia tidak ikut andil dalam kejadian tersebut, serta tidak tahu-menahu tentang hakekat dan asal-muasal kejadiannya. Bahkan ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadla, dan bahwasanya qadla itu hanya berasal dari Allah SWT.
Sedangkan qadar, bahwa semua perbuatan, baik yang berada di area yang menguasai manusia ataupun di daerah yang dikuasai manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa benda, baik berupa unsur alam semesta, manusia, maupun kehidupan. Allah SWT telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentu pada benda-benda. Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar. Sedangkan pada kayu terdapat khasiat terbakar. Pada pisau terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Apabila suatu waktu khasiat ini melanggar nizhamul wujud, maka itu karena Allah SWT telah menarik khasiatnya. Tetapi hal ini adalah sesuatu yang berada di luar kebiasaan, seperti halnya para Nabi yang menjadi mukjizat bagi mereka.
Seperti halnya pada benda-benda yang telah diciptakan khasiat-khasiatnya, maka pada diri manusia telah diciptakan pula berbagai gharizah/naluri, yaitu naluri mempertahankan diri (gharizatun baqa), naluri menghasilkan keturunan (gharizatun nau’nau’ ) dan naluri mengagungkan sesuatu (gharizatun tadayyun) serta kebutuhan jasmani. Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, pada gharizah mempertahankan dan melestarikan keturunan (gharizatun nau’) telah diciptakan khasiat dorongan seksual. Dalam kebutuhan jasmani diciptakan pula khasiat-khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya. Semua khasiat ini dijadikan Allah SWT bersifat baku sesuai dengan sunnatul wujud (peraturan alam yang ditetapkan Allah).
Seluruh khasiat yang diciptakan Allah SWT, baik yang terdapat pada benda maupun naluri serta kebutuhan jasmani manusia, dinamakan qadar (ketetapan). Sebab, Allah-lah yang menciptakan benda, naluri, serta kebutuhan jasmani, kemudian menetapkan khasiat-khasiat tertentu di dalamnya. Khasiat- khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsur-unsur tersebut. Dan manusia sama sekali tidak memiliki andil atau pengaruh apapun. Karena itu, manusia wajib mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat di dalam unsur-unsur tersebut hanyalah Allah SWT. Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah. Bisa juga digunakan untuk berbuat kejahatan apabila melanggar perintah Allah dan larangan-Nya.
Baik itu dilakukannya dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan memenuhi dorongan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Perbuatannya itu menjadi baik apabila sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya, dan sebaliknya menjadi jahat apabila melanggar perintah dan larangan-Nya. Dengan demikian, semua peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia itu datangnya dari Allah, apakah itu baik ataupun buruk. Begitu pula khasiat pada benda-benda, naluri serta kebutuhan jasmani datangnya dari Allah, baik hal itu akan menghasilkan kebaikan ataupun keburukan.
Karena itu, wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadla, baik dan buruknya dari Allah SWT. Dengan kata lain, ia wajib meyakini bahwa semua kejadian yang berada di luar kekuasaannya datangnya dari Allah SWT. Wajib pula bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT, baik khasiat-khasiat tersebut akan menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Ia tidak punya andil dalam masalah ajal, rizki, dan dirinya. Semua itu dari Allah SWT.
Jadi, kecenderungan seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau’, kecenderungan memiliki sesuatu yang terdapat pada naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’), rasa lapar dan haus yang ada pada kebutuhan jasmaninya, semua itu datangnya dari Allah SWT. Dan manusia diminta pertanggungjawabannya bagaimana memanfaatkan potensi hidup yang diberikan, apakah sesuai perintah Allah, atau malah bertentangan. Wallahulam
Sumber : Nidzomul Islam, Taqiyyudin an Nabhani




 Harga :
Eceran Rp 60.000,-
Grosir Rp 55.000,- (Minimal 3 Pcs )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar